Kebudayaan Indonesia Naturalisasi Aksara Korea

Demam korea tidak hanya menghempas negeri dengan musik dan dramanya. Salah satu suku di Bau-bau, Buton, Sulawesi Tenggara, menggunakan aksara Korea yang disebut Hangeul  (한글) secara resmi sebagai aksara bahasanya. Adalah suku Cia-cia, suku minoritas di Bau-bau dengan bahasa Cia-cia, sejenis bahasa Austronesia, yang telah mengimplentasikan aksara Korea dalam penulisan bahasanya di kehidupan sehari-hari. Meski demikian, suku Cia-cia tetap dapat menggunakan bahasa Indonesia.

Pemilihan aksara Hangeul  dikarenakan penulisan dan penyebutannya yang lebih sesuai dengan bahasa Cia-cia. Pulau Buton sebagai salah satu pusat penyebaran islam secara umum memang menggunakan aksara Arab ‘gundul’ . Namun dalam kasus bahasa Cia-cia, terdapat berbagai ucapan yang tidak dapat dituliskan dengan aksara tersebut. Suku Cia-cia sendiri pun tidak memiliki aksara, sehingga untuk mencegah punahnya bahasa Cia-cia digunakanlah aksara Hangeul.

Aksara Hangeul sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Raja Kim Sejong (세종대왕) pada zaman Dinasti Choseon (조선) untuk menggantikan aksara Mandarin yang dianggap terlalu sulit digunakan bagi masyarakat Korea. Pada tahun 1443 terciptalah 28 huruf Hangeul , yang terdiri atas 17 konsonan dan 11 vokal. Namun, masyarakat suku Cia-cia telah mengacu pada aksara Hangeul yang lazim digunakan saat ini yakni berjumlah 40 huruf, yang terdiri atas 14 konsonan tunggal (, , , , , , , , , , , , , ), 5 konsonan gabungan (, , , , ), 10 vokal tunggal (, , , , , , , , , ) , dan 11 vokal gabungan (, , , , , , , , , , ).

Penggunaan aksara Hangeul  ini telah disepakati pula oleh Walikota Seoul Oh Se-hoon dan Amirul Tamim, Walikota Buton, menandatangani kesepakatan untuk mengampanyekan Hangeul dan pertukaran budaya pada 22 Desember 2009 lalu. Hal tersebut mendapat dukungan dari pemerintah Korea sehingga dibentuk sebuah lembaga riset Hunminjeongum (훈민전굼) untuk mendukung dan mengembangkan aksara Hangeul dengan membentuk pusat pelatihan kepada pengajar dan peneribitan buku pelajaran bahasa Cia-cia beraksara Hangeul.  Tidak hanya itu, kota Bau-bau, khususnya Suku Cia-cia, akan dikembangkan menjadi daerah pariwisata yang gencar dipromosikan di Korea Selatan.

Tentunya kesepakatan ini menarik perhatian berbagai negara seperti Jepang, Amerika, Jerman, terutama Korea Selatan sendiri. Berita penggunaan aksara Hangeul sendiri sempat diberitakan di KBS World pada 6 Agustus 2009 lalu karena sudah mulai diajarkan di sekolah dasar sejak kelas 4 SD dengan menggunakan buku pelajaran beraksara Hangeul  selama sekitar 4 jam per minggu dengan menggunakan tenaga pengajar baik dari orang Korea asli maupun guru dari Cia-cia yang dilatih langsung di Korea.

Tentunya kebijakan pemerintah kota Bau-bau ini menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan oleh pakar bahasa Korea ini adalah bentuk penjajahan modern. Kekhawatiran juga muncul apabila yang ditransformasikan kepada masyarakat Bau-bau tidak hanya aksara Hangeul. Asumsi umum yang berlaku adalah  suatu aksara tentu berhubungan dengan suatu bahasa dan suatu bahasa tentunya tidak terlepas dari suatu kebudayaan. Sehingga sangat memungkin bila nantinya bahasa dan kebudayaan suku Cia-cia terkikis sedikit demi sedikit hingga punah karena masuknya pengajaran bahasa Korea dan kebudayaannya yang bisa jadi tidak cocok dengan karakter masyarakat Indonesia, khususnya suku Cia-cia. Sedangkan pihak yang mendukung kesepakatan tersebut meninjau dari segi ekonomi dengan sebuah alasan logis yakni kesepakatan tersebut dapat mengundan investor maupun wisatawan Korea untuk datang ke Indonesia. Selain itu, kesepakatan untuk memasukkan aksara Hangeul dalam pengajaran bahasa lokal Cia-cia akan mendapatkan inovasi metode pembelajaran dari Korea Selatan karena teknologi-teknologi pendidikan yang dimiliki Korea Selatan dan tidak dimiliki kota Bau-bau nantinya akan diwariskan pada kota tersebut sehingga dianggap dapat berperan meningkatkan mutu pendidikan masyarakat setempat.

Telah hampir tiga tahun berlalu sejak kesepakatan itu. Namun tidak ada tindakan pemerintah dalam menyikapi hal ini. Seakan semua berjalan baik-baik saja tanpa ada kemungkinan buruk yang terjadi dari kesepakatan ini.

Terdapat lima hal yang perlu kita telaah dari peristiwa ini. Hal-hal berikut dapat menunjukkan mengapa penggunaan aksara Hangeul maupun aksara dan kebudayaan lainnya dalam suatu kebudayaan lokal Indonesia sebagai langkah yang kurang bijak.

Hal pertama berhubungan dengan Undang-undang Kebahasaan yaitu UU No.24 tahun 2009. Pasal 42 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib melakukan pengembangkan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Sedangkan apa yang dilakukan pemerintah Bau-bau adalah membiarkan bahasa dan aksara Korea diajarkan pada suku Cia-cia .

Hal kedua berhubungan dengan budaya. Seperti yang telah disebutkan di atas, mengajarkan aksara Hangeul akan saling terpaut dengan bahasa Korea dan budayanya. Posisi budaya dan bahasa Korea yang lebih kuat pada akhirnya akan menghilangkan kemurnian budaya suku Cia-Cia.

Hal ketiga berhubungan dengan aspek pendidikan. Jika proses pembelajaran di Cia-Cia dilakukan dengan menggunakan aksara Hangeul, dan tiap siswa Cia-Cia lebih fasih menggunakan huruf Hangeul, maka hal ini akan mengancam lulusan sekolah di Cia-cia yang akan melanjutkan ke sekolah di luar daerah karena kekurangmahirannya dalam menulis dengan huruf latin.

Hal keempat berhubungan dengan politik bahasa. Dalam perspektif politik bahasa, dengan diizinkannya “mengkoreakan” bahasa Cia-Cia dengan cara mengajarkan aksara Hangeul kepada suku Cia-Cia seakan mempersilakan kepada bangsa lain untuk berbuat hal serupa.  Jika tidak diizinkan, berarti pemerintah Indonesia pilih kasih, dan ini dapat berdampak negatif pada hubungan bilateral kedua negara tersebut. Namun bila diizinkan, apakah kita mau Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan bahasa dan sistem tulisan negara lain?

Hal kelima berhubungan dengan kemurnian bahasa Cia-Cia. Untuk mencocokkan dua sistem bahasa yang berbeda ini dapat dilakukan dua cara, yaitu: (1) memodifikasi aksara Korea sehingga cocok dengan bahasa Cia-Cia, atau (2) memodifikasi bahasa Cia-Cia sehingga cocok dengan aksara Korea. Apapun pilihannya, bahasa Cia-Cia yang ditulis dengan Aksara Hangeul akan menjadi tidak murni lagi.

Pembentukan tim konservasi bahasa Cia-Cia oleh pemerintah Bau-Bau bersama Balai Bahasa setempat atau Pusat Bahasa Republik Indonesia merupakan langkah yang dirasa tepat dalam mengatasi hal ini. Tim ini bertanggungjawab untuk memikirkan, merumuskan dan mengambil langkah-langkah strategis pemertahanan bahasa Cia-Cia tanpa harus memutuskan kerja sama dengan pemerintah Korea.

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh tim ini dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah adalah (1) memastikan bahwa pemerintah daerah menerbitkan Peraturan Daerah (PERDA) yang menyatakan bahwa pengajaran aksara Hangeul hanya dilakukan pada matapelajaran muatan lokal bahasa Cia-Cia saja dan untuk matapelajaran lainnya wajib disampaikan dengan bahasa pengantar lisan bahasa Indonesia atau Cia-Cia, dengan sistem tulis adalah sistem latin, (2) memastikan bahwa tuturan bahasa Cia-Cia apa pun yang ditulis dalam aksara Hangeul harus didampingi oleh tulisan dengan sistem penulisan aksara latin. Ini untuk memastikan bahwa siswa Cia-Cia kenal juga pada huruf latin.

Ketika bahasa Cia-Cia telah kokoh dan hidup dalam masyarakat suku Cia-cia, maka tim ini dapat dibubarkan. Selama masa kerjanya, tim konservasi harus dapat meyakinkan pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan dan penegasan pada pemerintah daerah yang ada di Indonesia bahwa kerjasama dengan pemerintah asing semacam kerjasama pemerintah Bau-Bau dengan pemerintah Korea adalah salah dan melanggar Undang-Undang, dan kesalahan selanjutnya tidak akan ditolelir. Semoga, kasus bahasa Cia-Cia akan menjadi satu-satunya kasus terakhir yang berhubungan dengan bahasa-bahasa ibu di Nusantara. 



Sumber :
Usmi. 2007. Tiga Langkah Menguasai Bahasa Korea. 2007. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
How do we remove /? M=1 from Blogspot blog? The best answer.