Authenticity: Bagaimana Kepercayaan Terbentuk


Assalamu'alaikum

Simon Sinek dalam 'If you don't understand people, you don't understan business'

Baru-baru ini aku menonton sebuah speech oleh Simon Sinek berjudul 'If you don't understand people, you don't understand business'. Secara umum Simon memaparkan tentang ilmu trust (keterpercayaan) dalam bisnis. Namun selain dapat insight dari sisi bisnis, aku juga mendapat pemahaman baru dari sisi ilmu human interecation (interaksi manusia).

Pada dasarnya semua manusia memiliki insting alami dan primitif sebagai makhluk sosial untuk hidup berkomunitas. Namun apa sebenarnya yang membuat suatu komunitas itu terwujud, baik disengaja maupun tidak? Jawabannya adalah dimulai dari like-mindedness. Like-mindedness merupakan kesamaan, baik kesamaan pikiran, pendapat, latar belakang hidup, personalitas, kepercayaan, hobi, dan sebagainya. Intinya adalah perasaan memiliki sesuatu yang sama sehingga kita merasa sedikit-banyak terdapat rasa percaya terhadap seseorang tersebut. Bagaimana cara kita tahu seseorang itu memiliki sesuatu yang sama dengan kita? Bisa melalui apa yang mereka kenakan, yang terlihat secara fisik pada diri mereka, atau sesimpel dari sebuah percakapan kenalan dan apa yang mereka share di media sosial. 


Ketika kita melakukan perjalanan ke tempat yang tidak pernah kita kunjungi, misalnya. Anggaplah sebagai orang Indonesia kita berwisata ke Paris, di sana kita tidak punya kenalan satupun. Ketika sedang berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel tiba-tiba terdengar ada dua orang bercakap dalam bahasa Indonesia dari belakang kita. Kemungkinan besar kita akan menoleh, mencari siapa yang berbicara. Kemudian sangat mungkin terjadi kita cenderung mulai berkenalan atau mengajak bicara mereka. Seketika kita merasa punya teman yang bisa dipercaya. Ketika dua orang tersebut kemudian merekomendasikan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi di Paris, kita pun lebih mudah percaya dan berkemungkinan besar akan juga mencoba rekomendasi mereka.

Kenapa ya bisa begitu? Padahal waktu di Indonesia kita tidak kenal mereka, tidak pernah bertemu mereka sama sekali. Kalaupun kita masih di Indonesia, belum berangkat ke Paris, terus tiba-tiba di pinggir jalan kita bertemu mereka merekomendasikan tempat wisata di Paris, kemungkinan besar kita akan mencurigai atau mengabaikan mereka. Jawabannya, ketika kita melihat mereka di Paris, sama seperti kita; berbahasa Indonesia, sama seperti kita; wajahnya tipikal orang Indonesia, sama seperti kita; mereka sedang berwisata, sama seperti kita; poin-poin kesamaan ini adalah like-mindedness, bibit dari trust (keterpercayaan). Bahkan jika yang terdengar saat itu merupakan percakapan bahasa Melayu Malaysia, kita masih akan cenderung untuk mendekati mereka dan berkenalan karena adanya persamaan, sama-sama dari Asia Tenggara misalnya.

Like-mindedness hanyalah pembuka jalan dari bagaimana manusia hidup berkomunitas. Ia seperti topik pemantik pembicaraan di awal yang bisa berujung pada ngobrol ngalur-ngidul selama berjam-jam. Oleh karena itu, setelah jalan interaksi dan hubungan interpersonal ini terbuka, perlu hadir authenticity (autentik/keaslian). Keaslian di sini maksudnya adalah kejujuran terhadap diri sendiri, menampilkan diri sebagaimana dirinya sendiri, tidak dibuat-buat atau mencoba menjadi orang lain dengan tujuan tertentu. Authenticity dapat dinilai dari bagaimana orang tersebut konsisten dalam bersikap, berkata, berpendapat, dan bertindak sesuai apa yang benar-benar ia pahami dan yakini. Authenticity akan membangun trust yang lebih kuat seiring berjalannya waktu.

Simon menyebut dua faktor mendasar dalam hubungan interaksi antarmanusia ini menjadi landasan dalam bisnis yang sukses. Karena pada dasarnya, konsumen suatu bisnis itu 100% manusia, klien bisnis itu 100% manusia, dan karyawan suatu perusahaan itu juga 100% manusia. Simon memberikan contoh bagaimana Apple menggunakan like-mindedness dan authenticity dalam bisnisnya. Apple percaya, bersikap, dan juga konsisten bahwa produk Apple merupakan produk premium yang mudah serta simpel bagi pengguna.

 



Kita ambil contoh Macbook, misalnya. Tidak dapat dipungkiri Macbook memiliki sekelompok orang yang menyukai dan sekelompok orang yang tidak menyukai bahkan membenci Macbook. Banyak yang menganggapnya over-priced untuk spesifikasi perangkat yang didapat, menyulitkan pengguna karena terbatasnya port I/O dan eksklusifitasnya, dan sebagainya. Jika kamu termasuk salah satu yang tidak tertarik atau membenci Macbook itu berarti tidak terdapat like-mindedness antara kamu dan Apple dalam hal teknologi sebuah laptop. Bisa jadi kamu lebih setuju dengan produk laptop yang memberikan spek terbaik dengan harga terjangkau, atau kamu ingin sesuatu yang unik jarang dipakai orang, mungkin kamu berpendapat laptop tahun 2020 itu sudah wajib punya layar touchscreen, dan sebagainya. Inilah yang dilakukan brand-brand laptop lain, mencari pelanggan yang punya like-mindedness dengan produknya.


Ketika like-mindedness sudah terbentuk, baru kemudian langkah-langkah komunikasi pemasaran dari suatu bisnis bisa masuk dan diterima calon pelanggan. Jika perusahaan produk tersebut bisa menjaga konsistensi kualitas produknya, inovasi produknya, serta pelayanan purnajualnya, serta authenticity perusahaan dan produknya, cepat atau lambat akan terbentuk trust pada pelanggan. Ketika trust terbentuk, maka menginformasikan dan mengajak pelanggan untuk membeli produk baru jadi lebih mudah, pelanggan jadi lebih yakin dan mudah untuk merekomendasikan produk kita ke orang-orang terdekatnya, muncul loyalitas pelanggan, terbentuk komunitas-komunitas pencinta produk kita, dan sebagainya.

Like-mindedness dan Authenticity ini ternyata juga ada pada hubungan antarmanusia kita lho, baik itu proses berteman, mencari pasangan hidup, rekan usaha atau projekan, komunitas hobi dan sebagainya.Misalnya saja pada September 2016 lalu saat kelas pertama aku di DJ Arie School  Bandung, aku ingat Mas Arie menanyakan kenapa aku dan peserta lainnya dalam kelas tersebut bergabung ke DJ Arie School. Mungkin saat itu Mas Arie sedang melakukan survey untuk mengetahui kebutuhan peserta didiknya apa saja yang perlu dipenuhi. Tapi di lain sisi, secara aku dan peserta kelas tersebut tidak sadar kami membuka percakapan tentang diri kami dan mencari persamaan (like-midedness) antara satu sama lain. Alhasil dalam pertemuan tersebut Alhamdulillah aku bisa langsung dapat satu kawan yang rasanya udah kayak kawan deket, haha. Namanya Iwan. Btw, side note, aku introvert yah. Jadi maklum dapat satu kawan dalam satu pertemuan dirasa prestasi.

Kelas pertama DJ Arie angkata 145 ^^

Uniknya saat aku flashback hal ini, ternyata kami menjadi dekat karena, betul, kami ada like-mindedness alias kesamaan. Sebelum bergabung kelas DJ Arie Iwan bekerja di hotel dan aku sebelum bergabung kelas ini pernah Job Training 3 bulan di hotel. Selain itu tujuan kami dan peserta lainnya bergabung kelas ini juga untuk mempelajari ilmu yang sama, tentang keahlian public speaking baik digunakan untuk menjadi penyiar, presenter, pemasaran, dan sebagainya. Iwan saat itu juga sedang merintis bisnis dan aku sedang belajar memulai bisnis. Sehingga setidaknya, meskipun belum terbentuk kepercayaan (trust) mendalam yang bisa cerita ini-itu, beberapa kesamaan itu membuat aku merasa lebih nyaman untuk memulai komunikasi lebih dulu, tidak segan-seganan, dan tidak perlu jaim. Perkenalanku dengan peserta kelas lainnya meskipun belum menemukan banyak kesamaan, bibit untuk menjadi trust pada peserta yang lain juga sudah ada. Ingat, mereka ini stranger loh. Literally belum ada satu peserta pun yang pernah aku temui atau kenal sebelumnya dengan latar belakang kampus, pekerjaan, usia, jurusan kuliah, tongkrongan yang berbeda-beda.

Selama tiga bulan, karena ini kelas yang semua perkenalan sama-sama di mulai dari nol, tidak ada yang perlu jaim-jaiman. Kami menampilkan diri kami apa adanya, tidak nge-judge satu sama lain. Karena tentu dalam kelas seperti ini ketika diminta tampil ke depan ada yang lancar ada pula yang belum. Jadi kita saling mendorong untuk pede dan untuk jadi diri sendiri dengan segala keunikannya masing-masing. Akhirnya kami menetas jadi kelompok kelas yang solid pada pertemuan kelas DJ Arie terakhir. Bahkan saat menjelang kelas terakhir di DJ Arie kami memutuskan untuk mengadakan perpisahan dan menyewa vila di Lembang. Sesolid itu angkatan 145, guys. Dari mulai rapat nentuin tanggal di BEC, survey vila di Lembang, patungan vila dan makanan, konvoi mobil ke vila, masak-masak di vila, nge-games sampe larut. Seru deh pokoknya. Checkout dari vila langsung masuk kelas terakhir DJ Arie dan diakhiri dengan dinner bareng terakhir. Terakhir, karena kami tahu setelah kelas ini akan mulai susah kumpul karena melanjutkan atau memulai kesibukan baru masing-masing.

Kami merekam momen itu dan aku mengolahnya menjadi cinderamata berikut ini.



So, in conclusion guys, if there is people who disagree with you, doesn't like you being yourself, or even hate you for being yourself, now you know they just don't understand you because they don't have what you have to be like-minded. You may explain yourself to them, but you are not obligated to make them understand who you truly are. Be authentic to yourself. The right person with the right frequency and like-mindedness will find you and come to your life eventually.

Tertarik dengan apa saja yang dishare Simon Sinek lebih lengkap? Simak video lengkapnya berikut ini.

How do we remove /? M=1 from Blogspot blog? The best answer.