Skripsi Oh Skripsi


Assalamualaikum, Good People!

Kalau kamu pernah atau mungkin sedang mengerjakan skripsi, mungkin yang akan saya ceritakan ini sangat relatable. Ya, Skripsi Oh Skripsi.

Apa saja kisah-kisah mahasiswa tingkat akhir yang pernah kamu dengar terkait skripsi? Mungkin kamu pernah dengar ada mahasiswa yang beruntung banget, di angkatannya dia yang paling cepat lulus karena topik, dosen, proses penelitian, dan sidangnya lancar banget. Mungkin kamu juga pernah dengar ada mahasiswa kok lulusnya lama banget gara-gara susah di proses bimbingan atau penelitiannya. Mungkin kamu juga pernah dengar mahasiswa yang malas banget ngerjain skripsi, kebanyakan "main". Meskipun "main" tersebut pada kenyataannya dapat berupa persuing their passion atau mencari pengalaman kerja.

Kita mungkin memiliki prosedur yang berbeda dalam pelaksanaan skripsi, tapi secara garis besar saya yakin sama. Memilih, menentukan, dan mengajukan judul dan topik penelitian, mendapatkan dosen pembimbing (dospem), bimbingan dengan dospem, penelitian di lapangan (wawancara, observasi, kuesioner, dll), revisi-revisi, sidang-sidang, lalu wisuda. Ah.. seandainya memang semudah itu. Pada kenyataannya, mungkin tak semudah itu.

Mungkin kamu mengalami kegamangan di awal memilih dan menentukan judul dan topik penelitian. Kemudian mengalami penolakan saat pengajuan judul dan topik penelitian, entah karena alasan tidak ada urgensi penelitiannya, tidak cukup data, kesalahan metode yang akan digunakan, maupun karena dosen pembimbing atau penguji proposal penelitian kamu kurang sreg sama topik tersebut dan mencoba mengarahkanmu pada topik yang disukainya. Yang lebih pedih adalah ketika judul dan topik penelitian kamu ditolak dan tidak mendapat arahan apa-apa dari beliau. Mungkin setelah judul dan topikmu disetujui, kamu akan menemukan kesulitan menemui dospem untuk bimbingan. Mungkin dospem kamu ngambek karena salah ucap atau tingkahmu. Saya yakin masih banyak lagi kisah-kisah perjuangan lulus mahasiswa tingkat akhir di luar sana.

Saya mencicipi sebagian awal kisah itu sejak semester tujuh. Pada semester ke-8 ini, saya akan merasakan sebagian kisah lainnya. Sejak awal tahun saya sudah berniat dan bersemangat untuk mengerjakan skripsi. Saya mengurangi waktu liburan alih semester dan menggunakannya untuk mengurus berkas ini-itu. Menjelang akhir Januari, saya telah memperoleh surat keputusan yang menyatakan judul serta dosen pembimbing penelitian saya. Saya pun memutuskan untuk fokus dengan penelitian ini pada semester ini. Tidak ada mata kuliah yang saya ulang,  pure hanya mata kuliah skripsi.

Setelah kartu bimbingan skripsi saya pegang, saya resmi bisa melakukan bimbingan untuk perbaikan proposal penelitian saya agar layak menjadi draft Bab 1 skripsi saya. Tapi setelah mengikuti bimbingan pertama, saya merasa semangat awal tahun itu mulai luntur. Pembiaran atas hal tersebut ternyata sangat berdampak besar, bagi saya dan mungkin bagi skripsi saya. Tepat 29 Februari lalu, saya menyadari, I have been wasting my time for a month. I feel so ashamed about that. I feel deeply guilty for myself. Saya sudah berusaha setiap hari untuk merencanakan apa yang akan saya lakukan besok, dan menekankan pada kegiatan merevisi draft skripsi saya. Tapi saya tidak tahu kenapa, hal itu sangat sulit terwujud.

Kemarin, 1 Maret, sore, akhirnya saya ke kampus lagi setelah sekian lama. Penyebabnya adalah undungan personal dari salah satu adik angkatan dari dJatinangor untuk mengahadiri Sertijab kepengurusan yang baru dan evaluasi penerbitan majalah sebelumnya oleh dosen pembina. Saya terlambat, meskipun sudah berada di lokasi acara, saya tidak masuk. Saya menghormati dosen pembina kami yang sedang menyampaikan evaluasi dan tidak ingin memotong pembicaraan beliau dengan ketukan pintu dan ucapan maaf dari saya. Acara tersebut ternyata berakhir ketika dosen pembina kami selesai mengevaluasi. Ketika saya menuju ruangan acara tersebut, sayup-sayup suara berisik dan tawa para kru dJatinangor terdengar. Saat itu, rasa rindu mendera saya begitu hebat. Ketika melihat mereka keluar dari ruangan tersebut, saya berusaha menyapu pandangan ke seluruh peserta yang hadir. Semua berlalu begitu cepat. Akhirnya setelah shalat magrib, kami memutuskan untuk makan bareng di sebuah rumah makan.

Terlepas dari apa yang kami obrolkan, saat bersama mereka saya merasa menemukan diri saya yang hilang sebulan lalu. Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Hari ini saya mendapat pesan dari sahabat saya, Stefanus, "Miii, lo ke mana aja dahhh?". Satu pesan itu membuat saya sadar apa yang sebenarnya saya alami, meskipun saya belum tahu apa itu. "I lost in myself tep..", balas saya spontan.

Atas dasar keraguan saya dengan idiom dan grammar dari kalimat saya tersebut, saya googling dan menemukan sebuah artikel David DiSalvo di Forbes yang menjawab semua pertanyaan saya. Berikut saya kutip 4 dari 8 Reasons Why People Feel Lost in Their Lives. Meskipun David sepertinya membahas topik untuk mereka yang sudah bekerja, saya rasa 8 alasan juga relevan dan relate-able dengan kehidupan mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.

1. Drift Syndrome (Sindrom Terbawa Arus)
When we can’t figure out why we’re doing what we’re doing, or how we ended up working the job we’re working, a sense of “drift” settles in.  It seems that instead of planning out our career, we just drifted along the tides  and eventually found ourselves here. Or perhaps we had a plan, but lack of follow-through and/or a few of life’s hard knocks changed it, and we just drifted along.  

Ya, saya terbawa arus. Saya punya rencana, apa yang akan saya lakukan di semester ini, bagaimana skripsi saya, dan sebagainya. Lalu BOOM! Setelah bimbingan pertama, saya belum bisa bimbingan lagi sampai pertengahan Februari. BOOM! Terjadi kesalahpahaman antara saya dan Humas lokasi penelitian saya. BOOM! I stucked! Tidak adanya mata kuliah yang saya ambil di semester ini selain skripsi juga membuat saya kehilangan alasan untuk ke kampus. Most of the time. Ingin menghibur diri dari semua kejadian itu, BOOM! Saya menemukan web series china yang baru dirilis. Web series tersebut dirilis setiap Rabu, Jumat, Minggu dan membuat saya ketagihan untuk mengikuti perkembangannya tiap minggu. Saya menemukan hobi baru yaitu belajar mandarin. Hampir setiap hari pasti saya buka Youtube untuk melihat perkembangan web series itu, mencari terjemahannya, dan belajar bahasa mandarin. BOOM! Saya terbawa arus.

2. Too Busy for Passion (Terlalu Sibuk dengan Passion)
If you’re passionate about your main job, that’s great. But for many people, their job is a means to pay the bills, not an outlet for their deeply felt passions. But if we always think we’re too busy with our jobs and other parts of our daily routines to pursue anything we’re passionate about, then feeling incredibly bland, if not lost, is inevitable.
David benar. Bagi sebagian mahasiswa, skripsi bukanlah passion mereka. Skripsi seringkali hanya menjadi semacam "pekerjaan" yang harus diselesaikan agar lulus, wisuda. Saya pun merasa demikian. Bukan berarti skripsi saya tidak memiliki makna yang membuat saya ogah-ogahan, tapi rasanya lebih seperti kerja. Literally, I can't feel passionate about it yet really want to be free from it. Lalu karena niat semester ini fokus pada skripsi, lingkungan dan orangtua juga gencar mengingatkan skripsi, saya merasa seperti terdoktrin semester ini tidak ada waktu untuk hal-hal yang sesuai passion saya. Hal ini diperparah dengan adanya rasa khawatir kalau melakukan hal tersebut akan mempengaruhi konsentrasi saya ke skripsi dan tidak bisa bagi waktu.

Pada kenyataannya kondisi ini malah mendorong saya untuk terus "bermain", melakukan yang benar-benar membuat saya merasa hidup. Lalu si skripsi, hanya dibuka-tutup saja file-nya. Yang akhirnya hanya membuat rasa bersalah pada diri sendiri karena skripsi belum ada kemajuan.

3. Social Support Vacant (Ketiadaan Dukungan Sosial)
How many of us are plugged into social networks that offer real, substantial support?  More frequently we’re socially organized around hobbies and sports.  Those networks may be great for talking over the specifics of our pass times, but they don’t offer vital connections between people who come to rely on one another. 
Another good point dari David. Pernah dengar rumor kalau sudah masuk masa skripsi, mahasiswa akan lebih individualis? Saya tidak tahu apakah rumor itu mempengaruhi saya atau memang ia benar adanya. Saya merasakan itu yang terjadi. Apalagi saya tahu kalau saya tipe orang yang suka kerja sendiri tapi kesulitan bekerja sendirian. Saya merasa lebih produktif ketika bekerja dengan hadirnya orang-orang di sekitar saya, dalam suasana yang tidak sepi, dalam suasana yang masih bisa bincang-bincang. Lalu BOOM! Semua teman saya mulai mengerjakan skripsi masing-masing, mereka punya masalah masing-masing dengan skripsi mereka yang harus ditangani. Bukan berarti semua jadi anti-sosial dan mengurung diri di kosan mengerjakan skripsi, tapi ketika kami bertemu tujuannya jadi berbeda. Mereka ingin melepas penat dari skripsi dengan saya, sedangkan saya ingin mereka menjadi temen nyekripsi. BOOM! I lost social support. Seringkali saya mengalah dan akhirnya malah terbawa arus.

4. Distraction Fragments Focus (Pengalihan Fokus)
About once a day I look at my iPhone and seriously consider throwing it into oncoming traffic.  We have an abundance of ways to stay “connected” at our disposal,  but hyper-connection  invariably  leads  to  attention fragmentation. When we can’t focus our time and energy on any one project without being distracted by our smart phones, email, news alerts, TV and everything else that’s barreling at us, then it’s natural to feel detached from the project and, quite possibly, lost about how to get it completed. We’ve got to lasso in the distractions to get quality work accomplished; there’s simply no other way to consistently get work done and feel good about the outcomes.

Ya. Perhatian saya terdistraksi oleh berbagai hal. Perasaan bimbang antara skripsi dan passion, keinginan mengejar passion, dan mencari dukungan sosial dari internet dan media sosial, mempengaruhi pada hal ini. Apalagi sebagai seorang Youtube Heavy Viewer. Kamu pernah ketika buka Youtube niatnya nonton 2-3 video tertentu ga tahunya bisa nonton belasan video? Saya sering. Mungkin bisa dibilang lebih parah. Saya bisa seharian berpetualang di Youtube dan kesulitan berhenti. Ada perasaan harus mengecek Youtube setiap hari. Alhasil ya, saya merasa lost, ga tahu kapan bisa menyentuh skripsi itu. Saya teringat senior Blogger saya, Bang Aul, pernah hiatus karena ingin fokus dengan skripsi. Senior Youtuber, Kang Hisqie, juga pernah hiatus dari gapentingsih channel. Tapi pada akhirnya tetap ada juga curi-curi waktu untuk melakukan passion mereka. Setelah membaca poin ke-4 dari David tersebut, kita memang sepatutnya mengurangi hal-hal yang mendistraksi kita. Tetapi bukan sama sekali meniadakan waktu untuk passion kita.

Misalnya saja artikel ini. Tanpa menulis artikel ini, saya mungkin tidak akan menemukan pelajaran dari apa yang terjadi belakangan ini. Menulis artikel ini semacam berkomunikasi intrapersonal, mengakui dosa-dosa yang sudah saya lakukan kepada diri saya sendiri, menemukan dan menerima kesalahan diri, lalu melihat adanya jalan keluar dari masalah yang ada. Saya mungkin akan lupa di kemudian hari jika saya hanya meluahkan ini secara lisan pada diri saya. Dengan menuliskannnya di blog yang masih sepi ini, insyaAllah dapat menjadi pengingat saya dan mungkin hikmahnya bisa bermanfaat bagi yang membaca.

Jadi apa yang saya, mungkin juga kamu, bisa lakukan ketika mengalami empat hal tersebut? Dari mana mulainya?

Menurut saya, mulailah dari seimbangkan passion dan work. Ini sumber masalahnya. Ketika terlalu fokus pada skripsi, sebagaimana yang saya lakukan di awal Januari, apa yang kita lakukan akan segera terasa hambar. Rencanakan dalam sehari untuk work dan play, bukan sekedar work dan recess alias istirahat. Ketika "bermain" lakukan sesuatu yang sesuai passion kita. Strict to yourself!

Kemudian mulai kurangi hal-hal yang mengalihkan perhatian kita, dalam kasus saya, Youtube. Saya tidak tahu apakah saya bisa tidak buka Youtube selama seminggu, tapi setidaknya saya sudah mendownload beberapa video yang hanya akan digunakan saat waktu "bermain" tiba. Strict to yourself!

Kenali bagaimana tipe bekerjamu. Itu akan membantu untuk membangun strategi agar kamu bisa bekerja dengan enjoy dan optimal. Kalau tipe kamu seperti saya, suka kerja sendiri tapi sulit kerja sendirian, saya rasa kita bisa coba nyekripsi di tempat yang ramai, misalnya kafe (kalau tanggal muda), perpustakaan (kalau ramai), atau hangout bareng temen yang niat main tapi kita jelaskan kondisi kita (last resort banget, hati-hati terbawa arus).

Yang terakhir kembali on the track. Mungkin tidak mudah, mungkin dengan apa yang sudah kita lewatkan menjadi bumerang sendiri bagi kelancaran skripsi kita, tapi tidak ada cara lain selain menangkap bumerang itu. Kalau dibiarkan ia akan terus berputar dan berbalik kembali ke kita. Kita harus siap menangkapnya. Mungkin gagal di tangkapan pertama, mungkin sakit ketika berhasil menangkapnya, tapi kalau kendalinya sudah ada di tangan kita, "peperangan" akan lebih mudah.

Mungkin refleksi diri saya tersebut tidak berlaku secara praktis di keadaan nyata yang sedang kamu alami, mungkin juga tidak cocok untuk banyak orang, tapi saya harap kamu dapat memahami intinya dan semoga kamu mendapatkan cara yang terbaik pula untuk dirimu sendiri. Mungkin dengan menulis artikel seperti ini versi dirimu sendiri? Bisa jadi.

Ayo kembali bersemangat para pejuang tingkat akhir. You are not alone. I am not alone.

Terima kasih bagi kamu yang bersedia membaca hingga kalimat ini. Semoga artikel ini bermanfaat juga buat kamu. Kalau kamu pernah mengalami hal yang serupa dan berkenan berbagi cerita, dipersilakan banget menceritakannya di kolom komentar. Kalau yang baca ini senior saya yang sudah terlebih dahulu melewati masa-masa ini, saya sangat senang bila mendapatkan wejangan kakak. Terima kasih. :)
How do we remove /? M=1 from Blogspot blog? The best answer.