Kita Versus Korupsi

Hari ini saya baru saja menyaksikan cuplikan kehidupan masyarakat Indonesia yang pelik. Ya mungkin tidak terjadi di lingkungan orang-orang yang saya kenal, tapi kisah kehidupan tersebut terpampang nyata di kehidupan masyarakat Indonesia.

Penggalan kisah tersebut ditautkan dalam sebuah tema besar, yakni Kita Versus Korupsi (KvsK). Dengan melihat jumlah viewer dari film-film yang menggugah ini, saya yakin tidak banyak masyarakat Indonesia yang telah menyaksikannya. Film-film tersebut adalah karya para sineas bangsa ini yang bekerja sama dengan beberapa lembaga, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika melihat judulnya, awalnya saya mengira film-film pendek yang berdurasi tak lebih dari 20 menit ini merupakan sebuah serial. Saat ini di akun CIBOfficial (Club Indonesia Bersih) telah diunggah 4 bagian film ini. Setiap bagian memiliki satu cerita dari suatu kehidupan di Indonesia, terutama budaya laten korupsinya yang disorot.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi didefinisikan sebagai  penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi sebenarnya di Indonesia sudah terendus sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada kekuasaan VOC di Indonesia. VOC sendiri bubar disebabkan adanya praktik korupsi di dalamnya. Lalu kemudian terendus kembali praktiknya di zaman pemerintahan Alm. Soeharto. Lantas semakin terkuak di zaman reformasi. Anehnya, ketika kasus-kasus korupsi semakin banyak diungkap dan ditindak-lanjuti, semakin banyak dan kuat pula pelaku-pelakunya. Bahkan sebagian mengatakan bahwa itu adalah budaya Indonesia yang tidak perlu diakuisisi tapi sudah menjadi milik Indonesia.

Kasus-kasus korupsi yang semakin sering dibeberkan media, baik di layar televisi maupun di layar gadget, semakin membuka penglihatan masyarakat akan bobroknya negeri kita ini. Sebagian cukup dengan memberikan prihatin dan ucapan "turut memerangi korupsi di Indonesia", sebagian justru kocar-kacir melihat gerakan agresif dari aparat dan KPK dalam menelisik tindakan-tindakan koruptif dalam jalannya roda pemerintahan kita. Namun pertanyaan yang muncul adalah apa cukup meneriakan antikorupsi dan prihatin atas keadaan negeri ini? Banyak yang ingin negeri ini bebas korupsi dengan menyebutkan sederetan nama yang perlu "ditiadakan" dari pemerintahan, namun kenapa tidak ada perubahan? Mungkin inilah yang menjadi pemikiran pula bagi para sineas kita.

Kita tahu apa itu korupsi. Kita tahu dampak dari korupsi. Tapi tidak sedikit orang yang tahu bentuk-bentuk lain dari korupsi. Tidak banyak pula yang tahu bagaimana mengatasinya sebagai warga biasa bukan sebagai lembaga sekelas KPK. Beberapa film pendek berikut mungkin bisa menambah wawasan kamu tentang bentuk-bentuk korupsi yang tak berbentuk itu dan mungkin bisa pula menyadarkan kamu sebagai seorang warga Indonesia, bangsa Indonesia, yang lahir di tanah air Indonesia, yang menjadi bagian dari negara Indonesia. Kita memang perlu mengatakan tidak pada tawaran untuk korupsi, perlu juga menutup mata, telinga, dan mulut bila tawaran untuk korupsi itu datang. Tapi, bila Indonesia, Pancasila, dan hati nurani masih ada dalam dirimu, apakah kamu akan menutup mata, telinga, dan mulut untuk memberantas korupsi? Apakah kamu akan berkata "tidak" pada penyelematan kehancuran negeri ini karena korupsi? 

Korupsi itu bukan budaya Indonesia. Ia datang dari bangsa lain yang tamak dan rakus akan kekuasaan dalam paham 3G-nya. Yang menjadikannya membudaya di negeri ini adalah masyarakat Indonesia yang begitu terbuka menerima budaya lain, kalau masyarakat mampu menjadikannya budaya, maka masyarakat pula lah yang mampu menjadikannya pantangan. Masyarakat itu bukan berarti hanya KPK versus Korupsi, tetapi Kita versus Korupsi.

Berikut adalah keempat film pendek tersebut. Silakan jeda pemutar musik di samping terlebih dahulu.. Selamat menyaksikan..

Rumah Perkara adalah sebuah film arahan Emil Heradi yang dibintangi oleh Teuku Rifnu Wikana, Ranggani Puspandya, Icang S. Tisnamiharja, Aji Santosa, dan Tieneke Purnamasari. Film berdurasi 19 menit dan 46 detik ini mencoba menghadirkan suatu kisah dari negeri ini, yakni kisah pemimpinnya. Kisah pemimpin yang diangkat adalah seorang lurah dari sebuah desa. Dahulu ketika ia berkampanye yang ia janjikan dan inginkan adalah kesejahteraan seluruh warganya. Namun seiring bergulirnya waktu ia mulai diberi tawaran untuk menyelewengkan kewenangannya terhadap tanah dan rumah salah seorang warganya yang telah janda. Kebohongan-kebohongan pun mulai terbentuk yang pada akhirnya memberikan hasil akhir yang memilukan bagi keluarganya.

Film yang digarap oleh Lasja F. Susatyo ini menghadirkan sisi lain dari suatu hubungan sepasang kekasih. Nicholas Saputra (sebagai Vano) dan Revalina S. Temat (sebagai Laras) beradu peran dalam film ini sebagai sepasang kekasih yang berencana kawin lari tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Ketika terbentur masalah prosedur di Kantor Urusan Agama (KUA), Vano, seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya saya rasa, memilih menggunakan jasa "orang dalam" agar mereka dapat segera menikah. Di satu sisi, Laras yang pernah diajar oleh guru bahasa Indonesianya (diperankan oleh Ringgo Agus Rahman) bercermin dari pengalaman masa lalu yang sangat membekas dihatinya. Sosok sang guru yang begitu jujur, tidak pantang menyerah mengajar walau dipecat karena tidak memberi "pelicin" membuat Laras ragu untuk memulai rumah tangganya dengan Vano bila diawali dengan menggunakan "orang dalam". 

Selamat Siang, Risa! menggunakan alur maju dan mundur. Di awal kisah, Risa (diperankan oleh Dominique Agisca Diyose), seorang kepala bagian perizinan suatu perusahaan, dihadapkan dalam situasi yang memungkinkan untuk menyelewengkan kewenangannya. Namun kita tidak pernah tahu siapa itu Risa dan bagaimana latar belakang kehidupannya. Sehingga kita diajak menyelami latar belakang Risa yang berasal dari sebuah keluarga menengah bawah. Ayahnya, Pak Arwoko (diperankan oleh Tora Sudiro) bekerja sebagai penanggung jawab sebuah gudang penyimpanan sedangkan ibunya (diperankan oleh Medina Kamil) hanya seorang penjahit. Keluarga kecil nan sederhana ini hidup di zaman pemerintahan Alm. Soeharto. Saat itu segalanya begitu sederhana dan sangat butuh uang untuk bertahan hidup, terutama masalah beras. Potret keluarga kecil ini sangat menyentuh. Dalam himpitan ekonomi, mereka harus berjuang untuk bertahan hidup. 

Di saat terkritis, Koh Abeng (diperankan oleh Verdi Solaiman) datang sebagai seorang pengusaha kaya yang ingin menyewa gudang Pak Arwoko untuk menyimpan berton-ton beras dari Cianjur. Ia harus menaruh berasnya di gudang Pak Arwoko saat itu juga agar tidak rugi besar saat keesokan harinya terjadi kenaikan harga beras. Pada titik ini, saya sebagai pemirsa bisa merasakan betapa pilunya situasi keluarga ini. Betapa gundahnya pula Pak Arwoko sebagai kepala keluarga ketika melihat anaknya sakit, sudah tidak punya beras, dan sangat membutuhkan uang. Tapi kesuksesan Risa di akhir film ini ditentukan oleh satu tindakan Pak Arwoko yang bagi banyak orang dianggap "absurd" di zaman sekarang. Di akhir film ini, Ine Febrianti, sang sutradara, juga menambahkan sentilan-sentilan kecil tentang keadaan negeri ini kepada pemirsanya. Kita akan bertahan dalam kondisi seperti ini atau akan berubah?


Saya rasa ini adalah film pendek terakhir dari serial KvsK. Kali ini, Chairun Nissa, menyutradai film yang berlatarkan kehidupan anak SMA. Kasus yang diangkat adalah penjualan buku paket di sekolah yang berimbas pada nilai siswa. Kebiasaan korupsi "kecil-kecilan" yang sudah berakar di suatu keluarga juga dipaparkan. Semuanya dikisahkan melalui rekaman video dari tangan Gita Anindita (diperankan oleh Alexandra Natasha) dalam percakapan singkatnya dengan kedua sahabatnya, Echi (diperankan oleh Nasha Abigail) dan Ola (diperankan oleh Siska Selvi Dawsen) dalam menanggapi peraturan membeli buku dari guru sekolah. Kedua sahabatnya ini begitu menganggap remeh dengan hal-hal kecil yang biasa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Gita dianggap aneh karena tidak sepaham dengan mereka. Bahkan Ola menyarankan Gita untuk mengikuti cara Echi untuk mendapatkan kamera yang lebih canggih dan lebih cepat. Merasa aneh dengan perbedaan pendapat mereka, Gita menanyakannya langsung kepadamu dalam video yang diunggahnya ke YouTube itu. Menurut kamu, siapa yang salah?

Semoga keempat film tersebut dapat menjadi bahan introspeksi bagi diri kita masing-masing dan menjadi booster bagi kita semua untuk bertindak. Entri ini ku dedikasikan untuk bangsaku, bangsa Indonesia, negeraku, Negara Kesatuan Republik Indonesia.. Segeralah merdeka dari korupsi wahai negaraku.. Bertindaklah tegas dan jujur melawan korupsi wahai pemuda-pemudi negaraku.. Untuk IndONEsia yang lebih baik.
How do we remove /? M=1 from Blogspot blog? The best answer.